Eksistensi Pelabuhan Gresik Pada Masa Kolonial Abad 18 M
Eko Jarwanto, M.Pd.
Guru Sejarah SMA Assaadah Bungah-Gresik, Wakil Ketua MGMP Sejarah Kab. Gresik dan Peraih Medali Emas OGN (Olimpiade Guru Nasional) tahun 2017
Gambar: Pemandangan Pelabuhan Gresik tahun 1775-1780
1. Sejarah Awal Mula Pertumbuhan Pelabuhan Gresik
a. Pertumbuhan Awal Pelabuhan Gresik
Pada abad 16 M, catatan para pedagang Belanda menunjukkan
bahwa Pelabuhan Gresik
mulai menunjukkan geliatnya dengan pesat. Pada abad 16 M tersebut Pelabuhan Gresik mampu
mengalahkan kemegahan dan kejayaan Pelabuhan
Tuban yang pada abad 11 M sebelumnya merupakan pelabuhan terpenting di wilayah Jawa Timur. Sejak abad ke 16 M banyak kapal-kapal
dagang lebih suka singgah dan berdagang di Pelabuhan Gresik daripada di Pelabuhan Tuban.[1] Terdapat beberapa faktor yang mendorong
berkembangnya pelabuhan Gresik saat itu baik secara internal maupun ekternal.
Secara internal, perkembangan ini terjadi karena kondisi geografis Pelabuhan Gresik yang lebih baik, meningkatnya penawaran dan permintaan barang dari penduduk atau pedagang yang berlabuh di Gresik, adanya pengelolaan sistem manajemen bandar pelabuhan yang baik, serta adanya dukungan syahbandar-syahbandar yang cakap dalam berdiplomasi. Syahbandar ini terutama ialah orang-orang asing, seperti orang Cina dan Arab. Secara ekternal, peningkatan aktifitas di Pelabuhan Gresik adalah akibat dari kebijakan dari pesaingnya, yaitu pelabuhan Tuban yang mulai berkurang fasilitas pelabuhannya, atau bisa jadi karena tidak mendapatkan keuntungan dari hasil dagang yang diharapkan.
Secara internal, perkembangan ini terjadi karena kondisi geografis Pelabuhan Gresik yang lebih baik, meningkatnya penawaran dan permintaan barang dari penduduk atau pedagang yang berlabuh di Gresik, adanya pengelolaan sistem manajemen bandar pelabuhan yang baik, serta adanya dukungan syahbandar-syahbandar yang cakap dalam berdiplomasi. Syahbandar ini terutama ialah orang-orang asing, seperti orang Cina dan Arab. Secara ekternal, peningkatan aktifitas di Pelabuhan Gresik adalah akibat dari kebijakan dari pesaingnya, yaitu pelabuhan Tuban yang mulai berkurang fasilitas pelabuhannya, atau bisa jadi karena tidak mendapatkan keuntungan dari hasil dagang yang diharapkan.
Sumber-sumber sejarah tidak memberi penjelasan bahwa pada saat itu
pengelola pelabuhan di Tuban cenderung menggunakan kekerasan untuk memaksa
kapal-kapal dagang ke pelabuhannya. Kapal-kapal dagang yang berlayar dari
Banjarmasin ke Gresik dicegat oleh 3 galai kepunyaan Tuban, yang dalam hal ini
mendapat bantuan dari Arosbaya (Madura). Bahkan, untuk memaksakan niatnya pengelola
Tuban juga memaksa jung-jung Cina untuk masuk pelabuhan Tuban, bahkan sempat
terjadi pertempuran di laut yang berakhir dengan kekalahan jung Cina dimana
hampir seluruh muatannya Cina disita.[2] Menurut Peter Carey, para pedagang Cina
itu terus memainkan peranan yang amat penting artinya dalam kehidupan ekonomi
dan sosial negara-negara Jawa yang terletak di pedalaman, melalui usaha-usaha
perdagangan kota-kota pelabuhan yang terletak di pantai utara Jawa.[3]
b.
Kemajuan Pelabuhan Gresik dan Jaratan (Gresik)
Pada abad ke 16 M, beberapa pelabuhan di Jawa Timur Pesisir Utara memang
telah berkembang, tetapi di antara pelabuhan-pelabuhan itu, muncul Pelabuhan
Jaratan (Jortan). Di Pelabuhan Jaratan (Gresik) tidak
hanya berlangsung aktifitas perdagangan, baik kecil maupun besar tetapi juga
aktifitas produksi perkapalan. Munculnya Pelabuhan Jaratan ini dalam sumber kronik Cina disebutkan bahwa:
“...........pada
awal abad 15 M utusan Cina hanya mengunjungi Jawa Timur saja. Di situ terdapat
tiga pelabuhan utama, yaitu Tuban, Tae’tsun (Gresik) dan
Surabaya............Menurut Kitab Tung Hai Yang Kaan, kemudian Tuban
ditinggalkan Cina karena tidak aman. Tae’tsun telah berubah menjadi Sen’Taun
atas perkampungan baru, tetapi orang-orang Cina sulit masuk kesini, meskipun
kapal-kapal Cina harus melewatinya. Surabaya disebut tetapi tidak penting, dan
seluruh perdagangan berangsur ke suatu tempat baru Jortan (Jaratan)”[4]
Dalam jurnal pelayaran orang-orang Belanda yang
kedua (Account of some aeras in the
Indies, 1822) juga disebutkan
bahwa:
“..............from these place (Tuban), namely
Grisse, Jaratan, and Sedayu, great commerce is carried out of the sea on all
parts of the Indies. in those place boats take place two hundreds
tons.............the trade take place around Tuban occurs at
Jaratan..............in summary that Jaratan is stappling points for the
spieces which come from Moluccas and Banda at Brondong as well in other places
there are also many junk, but most of them harbor in Jaratan”.[5]
Di Pelabuhan Jaratan sendiri
dibuat kapal-kapal kecil berukuran 10-100 ton yang dipakai untuk berlayar ke
Maluku. Selain itu, di Pelabuhan Jaratan ada fasilitas bagi kapal dari luar
yang memerlukan reparasi atau perbaikan kapal yang rusak. Fasilitas ini
tentunya dibutuhkan oleh pedagang-pedagang saat itu, bagi pedagang
rempah-rempah. Disitu, baik kapal Gresik maupun kapal dari Banda
menyelenggarakan hubungan pelayaran ini. Dalam hubungannya dengan Maluku, maka
Pelabuhan Gresik juga sangat penting karena disinilah orang-orang Ternate dan
Tidore berlabuh untuk pergi ke Giri memperdalam pengetahuannya dalam agama
Islam.[6]
Pada
masa kekuasaan Mataram ini, Pelabuhan Gresik dan Pelabuhan Jaratan (juga berada
di Gresik) merupakan pelabuhan “kota
kembar”
yang terletak berhadapan di muara sungai. Menurut sumber Belanda, syahbandar utama berkedudukan di Pelabuhan Gresik
sedangkan di Pelabuhan Jaratan ditempatkan seorang syahbandar-muda. Pada tahun
1625 syahbandar-muda di Jaratan disebut dengan nama Ince Muda, yaitu seorang
Cina atau keturunan Cina. Istrinya seorang putri Beng Kong, pemimpin penduduk
Cina di Betawi pada waktu itu.[7] Pada abad 17 M diperkirakan setiap
tahunnya sekitar 60 kapal dari berbagai ukuran berlabuh di Gresik. Orang-orang
Belanda menamakan kapal-kapal yang berlabuh di Gresik dengan nama junk. Gresik sendiri disamping sebagai pemilik junk juga memiliki saham yang terbesar.
Dalam pelayarannya ke Banda,
tiga dari enam junk pada tahun 1610,
penuh dengan muatan beras dan bahan pangan milik penguasa. Rempah-rempah itu
setelah sampai di Gresik kemudian dipindahkan ke Banten.[8]
Berdasarkan sumber-sumber VOC dapat diketahui pula terkait jenis perahu
yang dipergunakan dalam perdagangan di wilayah pantai utara Jawa, termasuk di
Pelabuhan Gresik pada abad 15-18 M. Beberapa jenis kapal yaitu Jukung,
Paduwang, dan Sampan terdapat di semua pelabuhan Pantai Utara Jawa (termasuk
Gresik). Mayang, Paduwang, dan Pancalang aslinya berasal dari
kepulauan Melayu (Riau), kemudian ditiru oleh pelaut-pelaut Jawa. Chialup
adalah kapal yang dibuat di Eropa khusus untuk pelayaran ke Asia. Brigantijn
adalah jenis
Chialup yang dibuat di Asia. Scheepje atau Smalship dan Spiegelship
adalah kapal yang digunakan untuk mengangkut komoditi VOC di Pesisir Utara Jawa
dan ke Eropa.
2.
Perkembangan Dagang Pelabuhan Gresik Masa Kolonial Abad
18 M
Gresik secara hukum
masuk ke dalam administrasi
kolonial VOC yaitu tahun 1743. Penyerahan Gresik
kepada VOC berlangsung pada masa pemerintahan Pakubuwana II.[9] Lalu,
bagaimanakah perkembangan Pelabuhan Gresik setelah di bawah administrasi
kolonial VOC-Belanda ? Menurut data perdagangan dan pengapalan VOC tahun
1774-1775 ternyata menunjukkan fakta mengejutkan. Catatan Belanda menunjukkan bahwa
Pelabuhan Gresik masih tetap menunjukkan kemajuan perdagangan. Pelabuhan Gresik
bahkan menjadi pelabuhan
nomor empat terbesar di pulau Jawa diantara
15 pelabuhan yang ada di pantai utara Jawa. Pelabuhan Gresik hanya kalah dari
kota Semarang, Batavia, dan Rembang saja. Data menunjukkan bahwa tahun
1774-1775 kegiatan pengapalan Gresik mencapai total 970 buah. Dengan demikian, Gresik mampu
mengalahkan 11 kota-kota pelabuhan lain di seluruh Pesisir Utara Jawa.
Selanjutnya,
menurut perbandingan estimasi volume
kapal yang melakukan kegiatan pengapalan di Gresik juga menunjukkan bahwa pada
masa VOC ketika tahun 1774-1775 mencapai total 17.900. Meskipun tidak terbesar
di Jawa, tetapi kegiatan yang dilakukan di Gresik mampu menempati urutan nomor
empat bersanding dengan kota Surabaya. Data menunjukkan bahwa secara
berutur-turut kota yang paling besar melakukan kegiatan pengapalan menurut
estimasi volume kapal adalah Batavia (127.400), Semarang (54.400), Juwana
(15.200), disusul Gresik dan Surabaya (17.900)
Dalam dokumen VOC sendiri juga
menunjukkan terkait
volume kapal-kapal milik VOC melakukan kegiatan pengapalan di kota-kota
pelabuhan di Pesisir Utara Pulau Jawa. Kapal-kapal VOC yang melakukan
pengakapalan menurut kota terbesar secara urut adalah Jepara dan Tegal (68%),
Batavia (62%), Semarang (53%), Juwana (47%), Rembang (44%), Gresik dan Surabaya
yang masing-masing (35%). Berdasarkan
perhitungan tersebut menunjukkan bahwa pelabuhan Gresik menempati urutan keenam untuk
pelabuhan-pelabuhan yang paling banyak disinggahi kapal-kapal milik VOC. Selanjutnya, dilihat dari tujuan berlayarnya
kapal-kapal yang dari pelabuhan Gresik menunjukkan bahwa sebagian besar
berlayar menuju ke berbagai pelabuhan di Jawa sebesar (70,7%), Kalimantan
(11,3%), Selat Malaka (10%), Nusa Tenggara (7,8%) dan Sulawesi (0,2%).
3.
Komoditi-Komoditi
Dagang di Pelabuhan Gresik Abad 18 M
Berkembangnya
perekonomian Gresik tidak lepas dari barang-barang (komoditi) yang
diperjual-belikan di area pelabuhan. Komoditi menjadi faktor penting dan
petunjuk bagaimana kegiatan ekonomi berjalan. Komoditi juga menjadi petunjuk
terkait selera penduduk dan hasil-hasil produksi yang dihasilkan sebuah
penduduk. Di Gresik sendiri saat itu dihasilkan barang-barang berkualitas
ekspor. Tujuan komoditi yang dihasilkan oleh Gresik mampu bersaing dengan komoditi-komoditi
yang dihasilkan oleh daerah lainnya. Berikut ini daftar komoditi umum yang dihasilkan oleh penduduk dan
diperuntukkan kegiatan ekspor.
- Catton (katun benang kapas-lawe). Gresik menjadi salah satu penghasil katun bersama daerah Bali dan Palembang
- Ikan asin dan ikan kering. Untuk komoditi ini maka penghasil utamanya jelas Gresik bersama Bangkalan. Ikan asin dan ikan kering dikirim ke Jawa Tengah dengan jumlah sekitar 1 ton, bahkan untuk Semarang saja membutuhkan 500 pikul ikan asin/kering
- Hasil hutan (cat celup tekstil-soga) dengan produsen utamanya adalah Gresik dan Bangkalan sekitar 2500 pikul. Komoditi ini dikirim ke Batavia
- Asam Jawa, penghasil utamanya adalah Gresik dan Cirebon. Asam Jawa diekspor ke Jawa Tengah, Batavia, dan luar kepulauan Nusantara
- Kantong Jerami (pelepah gebang), penghasil utamanya adalah Gresik dan Bangkalan. Kantong jerami berguna untuk berbagai keperluan sebagai wadah atau tempat. Komoditi ini dikirim ke Juwana, Semarang, dan Batavia yang masing-masing memerlukan lebih dari 2.000 biji. Dari Gresik dan Bangkalan dihasilkan sektar 675.000 biji.
- Minyak kelapa, pada umumnya hampir seluruh wilayah Jawa menghasikan minyak kelapa. Khusus untuk Gresik mampu menghasilkan dan mengekspor mencapai 2.000
- Gula kelapa, Gresik mampu mneghasilkan sekitar 4.500 pikul untuk diekspor
- Beras dan padi merupakan komoditi yang diperlukan di semua wilayah. Daerah Gresik menjadi pengekspor padi/beras saat itu dengan nilai mencapai 15.000-20.000 pikul setiap tahunnya
- Garam, komoditi ini menjadi komoditi Gresik bersama Semarang dan Surabaya. Ketiga daerah itu mampu menyediakan garam sekitar 40.000 pikul. Pasar komoditi garam yang utama adalah di Selat Malaka dan Kalimantan.
a.
Komoditi Beras
Beras merupakan
komoditi yang menjadi kebutuhan pokok penduduk. Beras dijadikan bahan konsumsi
pokok setiap hari. Beras dihasilkan di daerah-daerah yang menyelenggarakan
ekonomi pertanian, terutama di Jawa Tangah dan Jawa Timur. Menurut catatan
sejarah menunjukkan bahwa Gresik dalam rangka perdagangan beras menempati
urutan ke 3 setelah Semarang (90.965 pikul), Surabaya (26.605 pikul), lalu
Gresik (20.420 pikul). Kota-kota pelabuhan lain yang menyusul adalah Batavia
(20.130 pikul), dan Cirebon (10.445 pikul). Pasar beras paling potensial adalah di
Jawa sendiri kemudian disusul oleh daerah di negeri Selat Malaka, Kalimnatan,
dan Nusantara bagian timur. Pedagang beras berada pada dominasi
pedagang-pedagang Cina, khususnya di Semarang dan Surabaya.
Tome Pires tidak menyatakan
keberadaan beras secara eksplisit di pelabuhan Gresik, namun karena pelabuhan
ini tergolong pelabuhan besar, sehingga dapat diyakini bahwa komoditas tersebut
juga tersedia dalam jumlah yang cukup tinggi. Di pelabuhan Gresik, komoditas
ini diduga didatangkan dari sejumlah daerah pusat penghasil beras di pantai
utara Jawa, diantaranya Sunda, Cirebon, Banten, dan Cisadane.[11]
b.
Komoditi Garam
Komoditi
garam banyak dihasilkan di daerah pantai utara Jawa. Garam dalam skala kecil
barangkali dihasilkan oleh hampir daerah pantai untuk keperluan pantai itu.
Daerah-daerah penghasil garam yang utama yaitu Rembang, Gresik, Surabaya,
Bangkalan, Pamekasan, Cirebon, Batavia, dan banten. Para peguasaha Cina
menguasai sebagin besar usaha garam, biasanya
lewat konsesi pajak yang dibelinya dari VOC atau penguasaha setempat.
Garam diperdagangkan dengan tujuan pedalaman Jawa sendiri dan ke seberang
lautan (daerah di luar Jawa). Khusus
penjualan di seberang lautan terutama dilakukan oleh lima pelabuhan penting di
pantai utara Jawa, yaitu Batavia, Cirebon, Semarang, Gresik, dan Surabaya.
Catatan perdagangan garam menunjukkan
bahwa Gresik dengan ekspor garamnya mencapai (38.450 pikul), menempati urutan
ketiga setelah Semarang (43.460 pikul) dan
Surabaya (38.620). Kemudian setelah Gresik disusul dengan Rembang (13.985
pikul), Cirebon (11.900 pikul), dan Batavia (10.120 pikul). Tentang harga garam
setiap pikulnya dapat diketahui dari tarif yang ditetapkan VOC pada waktu itu,
yaitu untuk di Jawa berkisar antara 0,2 rds-0,33 rds.
c.
Komoditi Gula
Pada masa itu, di Jawa
terdapat dua jenis komoditi gula yaitu gula tebu dan gula kelapa. gula kelapa
biasanya disebut dengan gula Jawa. Kelemahan gula Jawa adalah apabila segera
tidak dijual dan dikonsumsi maka akan cepat rusak. Di pasaran, harga gula Jawa
lebih murah jika dibandingkan dengan gula tebu yang dapat diolah dalam bentuk
Kristal-kristal putih. Penghasil gula kelapa yang paling besar adalah Cirebon
(8.455 pikul), disusul Surabaya (5.5000 pikul) dan Gresik (4.480 pikul) serta
Semarang (2.820 pikul). Tujuan ekspor yang paling utama adalah Selat Malaka dan
Kalimantan. Berdasarkan
catatan dokumen Belanda tahun 1813 ditunjukkan bahwa harga gula kelapa per
pikulnya 0,50 rds.
d.
Komoditi Pakaian
Komoditi
pakaian juga tidak ketinggalan dalam area perdagangan ekspor. Pada abad 15-18 M
di Jawa terdapat tiga jenis pakaian yang tersedia di pasar, yaitu pakaian Jawa,
pakaian Bali, dan pakaian India. Pelabuhan Semarang tampaknya merupkan supplier terpenting Jawa yang diimpor oleh
Batavia dan Banten, sedangkan Gresik, Surabaya, dan Cirebon yang terkenal untuk
perdagangan laut pakaian dan tekstil Jawa. Keseluruhan perdagangan samudera
dari pakaian Jawa diperkirakan meliputi 146.000 potong, 60% dari jumlah itu
berpusat di Semarang.
Perdagangan komoditi
pakaian ini seperti halnya perdagangan beras, kayu, dan gula ternyata sebagian
besar dikuasai oleh pedagang-pedagang Cina. Harga pakaian Jawa tahun 17600
berdasarkan laporan bookkeeper general
(pemegang buku umum) berkisar antara 90,25 rds, 60.5 rds sampai 1.50 rds. Jenis
kain yang berkualitas yang ada di pelabuhan Gresik juga meliputi kain impor.
Gresik sering memborong kain-kain halus dan sutra dalam jumlah yang sangat
banyak, yang dimasukkan ke bandarnya dengan maksud untuk diekspor lagi ke Banda
dan tempat lain di Maluku.[12]
Khusus kain sutra didatangkan dari Cina, sedangkan kain jenis lain dan biasanya
dalam partai besar didatangkan dari kawasan Asia Selatan.
4.
Pengaruh
Pelabuhan Gresik terhadap Aspek
Sosial Demografis
Seiring
dengan meningkatnya arus perdagangan di pelabuhan Gresik, maka tentunya akan
meningkatkan pula segi sosial masyarakat, seperti jumlah penduduk. Menurut
catatan Tome Pires bahwa saat
tahun 1430,
penduduk Gresik, Tuban, dan Surabaya jika dijumlah sebesar 1.000 keluarga. Jika
diambil rata-rata tiap keluarga terdiri atas 4-5 orang maka ketiga kota itu
hanya berpenduduk sekitar 4.000-5.000 orang. Tetapi pada tahun 1523 M penduduk
di Gresik saja yang terdiri atas orang-orang muslim diperkirakan 30.000 jiwa.
Pertumbuhan penduduk di kota Gresik pada abad ke 16 M jelas ada hubungannya
dengan fungsinya sebagai kota pelabuhan yang banyak dikunjungi pedagang pada
waktu itu dan merupakan salah satu kota pelabuhan yang terpenting di pantai
utara Jawa.[13]
T.S.Raffles tahun 1815 juga menunjukkan bahwa penduduk Gresik telah
meningkat menjadi 115.442 jiwa, dengan orang Cina sebanyak 364 jiwa (0,31%).[14]
Selanjutnya tahun 1915, catatan demografi menunjukkan bahwa jumlah orang Cina saja
di Gresik sebanyak 1.600 jiwa, orang Arab dan Bengali 1.000 jiwa, serta
penduduk Eropa berjumlah 130 jiwa.
Berkembangnya Gresik sebagai kota pelabuhan tentunya juga mendorong
pedagang asing untuk datang di Gresik, seperti dari Arab, Cina, Gujarat, hingga
bangsa Eropa. Kehadiran para pedagang asing tersebut bahkan pada masa kemudian
telah membentuk perkampungan-perkampungan asing di Gresik. Beberapa nama
perkampungan asing tersebut ialah Kampung Pecinan
(Cina), Kampung Pekelingan atau Kaling (India), Kampung
Kemasan atau Kemas (Palembang), Kampung Arab (pedagang dari
Arab-Timur Tengah). Bahkan, muncul pula perkampungan yang sebagian besar
penduduknya bermata pencahaian tertentu, seperti Kampung Kepatihan
(tempat lokasi pejabat patih), Kampung Pagedongan (lokasi pelabuhan), Kampung
Bandongan (tempat membuat perahu), dan Kampung Bandaran (tempat
berlabuh).
[1]
. M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
[2]. Marwati Djoned Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto, Op-cit, halaman
128.
[3]. Peter Carey.
1986. Orang jawa & Masyarakat Cina . Jakarta: Pustaka Azet. halaman 16.
[4] . W.P. Groneveldt.
1976. Historical Notes Indonesia and Malaya Complied Sources. Jakarta: Bharata:. halaman
54.
[5] . H.J. de Graff. Log-cit. halaman 32
[6]. Marwati Djoned Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto, Log-cit
[7]. Marwati Djoned Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto, Op-cit, halaman
161.
[8]. Suwandi, Op-cit, halaman 47-48.
[9]
. Aminuddin Kasdi. 2003. Aspek-Aspek Ekonomi dari Kebangkrutan
Mataram (1575-1755). Telaah Hubungan Ekonomi Mataram VOC Pada Abad XVII-XVIII dalam
Jurnal pendidikan Sejarah Volume 1 Nomor
1 Maret 2003. Surabaya, Unesa University Press. Lihat pula:
Graff,
H.J. de. 1985. Awal Kebangkitan Mataram
“Masa Pemerintahan Senopati”. Yogyakarta: Grafiti
[10]. Suwandi, Log-Cit, halaman 50.
[11] . Supratikno Rahardjo. 1999. Kota-Kota Pelabuhan di Pantai Utara Pulau
Jawa: Gambaran Umum Sekitar periode 1400-1600, dalam Cerlang Budaya; Gelar
Karya Untuk Edi Sedyawati, Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya-LPUI, hlm.152
[12] . Armando Cortessau.
1941. The Suma Oriental of Tome Pires (1515); An Account of the East
from Red Sea to Japan, Written in Malacca and India, London: Hakluyt
Society, hlm. 104
[13]. Marwati Djoned Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto, Op-cit, halaman
229.
[14]
. Raffles, Sir Thomas Stamford, F.R.S., 1830. The History of Java, from the earliest
Traditions till the establisment of Mahomedanism. Published by John Murray,
Albemarle-Street. Vol II, 2nd Ed, Chap X
Tidak ada komentar:
Posting Komentar